
Unjuk rasa untuk menandingi demo kelompok ekstremis sayap kanan yang akan membakar kitab suci Alquran, di kota Orebro Swedia tengah berakhir ricuh Jumat 15 April 2022. Polisi mengatakan bahwa empat mobil polisi dibakar massa dan sedikitnya empat petugas polisi dan satu orang terluka ketika pengunjuk rasa melemparkan batu dan kelompok besar menyerang barisan polisi dan merobohkan pagar anti huru hara.
Kekerasan meletus di pinggiran Stockholm Rinkeby setelah Paludan sebelumnya pada hari Jumat membakar salinan Al-Qur’an di sana. Polisi mengatakan beberapa petugas yang dibawa ke rumah sakit, antara lain, mengalami patah lengan. Sebelumnya, pada Kamis, tiga polisi dibawa ke rumah sakit setelah kerusuhan pecah di kota Linkoping di pantai timur Swedia.
Jika dilihat dari kondisi ini maka mayoritas muslim di Indonesia akan terlihat sangat manis. Karena bahkan jika ada seorang muslim yang melecehkan agama lain maka akan dipandang salah oleh umat muslim itu sendiri. Ini sudah terjaga lama dengan semboyan bhinneka tunggal ika, karena bersama tak harus sama.
Sehingga pembakaran Kitab Suci atau pelecehan terhadap agama apapun itu di Indonesia pasti dapat ditangani tanpa membuat kegaduhan yang berarti. Seperti Rusgiani dipenjara 14 bulan karena menghina agama Hindu, kala itu tidak ada demo dari pihak umat muslim untuk membebaskannya.
Kekawatiran Mudahnya Penggunaan Stigma Radikalisme di Indonesia
Herannya di Indonesia Toleransi yang manis dari mayoritas malah terkesan mau dirusak, terutama dengan penggunaan kata radikalisme yang sembrangan oleh kelompok tertentu. Padahal toleransi tak harus mengikuti dan tak hanya soal agama, karena arti toleransi berasal dari kata tolerare yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Jika dilihat dari makna aslinya toleransi dapat dipandang kesabaran membiarkan sesuatu yang dinilai salah dengan batas tertentu.
Hal ini bermula dari kasus Ahox dimana seharusnya memang dia tidak dipenjara. Tapi hal ini palah merembet menjadi balas dendam politik antar kubu dan telah terbalut kata “Toleransi dan Radikalisme” membuat semua berubah. Contoh Profesor Karna Wijaya terkait pengeroyokan Ade Armando langsung dituduh Teroris Radikalisme, padahal itu pernyataan pribadi yang tidak baik namun terlalu jauh dan dini jika dikatakan radikalisme teroris.
Padahal jika mau dilihat banyak negarawan sejati seperti Presiden Megawati yang mengikhlaskan balas dendam politiknya. Megawati belajar dendam politik hanya menghasilkan dendam lainnya seperti Sutan Syahrir dan Soekarno. Jikalau beliau meneruskan dendam tentu Soeharto, yang memperlakukan Soekarno secara tidak baik akan dibalasnya. Tapi tidak karena kosekuensi akan tidak baik bagi kestabilan bangsa dan beliau memilih mengikhlaskannya.
Karena itu mari kita jaga toleransi mayoritas di Indonesia ini yang sudah manis yang dijaga dengan penuh pengorbanan para pendahulu. Jangan sampai menimbulkan api pemusuhan karena hal yang tidak diperlukan. Sehingga bisa mengakhibatkan rusak toleransi yang berhasil dijaga selama ini.