
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah Republik Indonesia era Jokowi kembali naik pada Maret 2022 menjadi Rp7.052,5 triliun. Nominal tersebut bertambah 0,5% atau Rp37,92 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar Rp7.014,58 triliun. Angka ini naik drastis dibanding utang diakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di tahun 2014 yang sekitar Rp2.700 Triliun.
Namun anehnya pertumbuhan ekonomi RI di era ini tak lebih maju dibanding era SBY. Hanya setelah pandemi karena ekonomi tahun sebelumnya minuslah peningkatan ke 7% baru biasa didapat. Hal ini tak pelak mendapat kritik dari banyak pakar ekonomi bahkan dari luar negeri. Sayangnya semua itu tertutupi oleh dengungan para buzzer pembela pemerintah entah siapa yang mengerahkan.
Penyebab pertumbuhan ekonomi stagnan dan melejitnya utang di era Jokowi sebetulnya mudah ditebak dan terlihat jelas. Dari pembangunan yang tidak tepat, penugasan BUMN yang terlalu muluk, koordinasi yang seakan one man show, indek korupsi yang tak kunjung membaik dan ditutup dengan pandemi covid 19.
Bayangkan pembangunan era Jokowi lebih berfokus pada jalan tol dan bandara. Jalan tol yang hanya bisa dilewati oleh mobil dan berbayar padahal kendaraan mayoritas di RI adalah motor. Belum lagi efek tol yang palah menggerus bisnis diseputar jalan protokol seperti wilayah pantura.
Soal bandara juga tidak kalah unik pemikirannya dimana pesawat bukan transportasi utama di RI lalu bandara digeber pol pembangunannya, akhibatnya terbengkalai seperti Bandara Kertajati dan lainnya. Apalagi sekarang tiket pesawat melambung tinggi sehingga tambah sepi penumpang. Entah hasil akhir siapa yang akhirnya untung dari pembangunan semacam ini.
Kemudian untuk penugasan BUMN juga tak kalah ngeri dimana akuisisi macam Freeport Indonesia oleh Inalum, juga penugasan BUMN Karya menjadikan utang BUMN meningkat. Walau memang utang BUMN dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang swasta tapi saat meleset dan BUMN krisis akhirnya negara yang menalangi. Tidak percaya lihat saja rasio Debt to Equity Ratio (DER) BUMN saat ini.
Jokowi Seakan Hanya Percaya Pada Satu Orang Saja
Disisi lain koordinasi pun didalam pemerintahan Jokowi sangat unik yakni one man show. Bayangkan dari hal teknis sampai non teknis seperti pembentukan perundangan seperti Omnibus Law, harga BBM sampai harga tiket masuk tempat wisata Pak Luhut seakan yang mengkoordinasi semuanya.
Pak Luhut Binsar Pandjaitan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia ini, mungkin sudah mengalahkan super Komputer tercepat dalam hal multi tasking dan dijuluki rakyat Menteri Segala Urusan. Timbul pertanyaan apa tidak ada orang lain seperti menteri pejabat atau siapapun yang dipercaya Presiden Jokowi ? Sehingga menteri harus overlaping sampai seperti itu.
Koordinasi yang buruk ini juga ditambah index korupsi yang menurun kualitasnya. Entah tradisi atau budaya korupsi di Indonesia sehingga sulit ditangani. Covid 19 yang melanda pun akhirnya jadi penutup yang seakan melakukan gol tendangan pinalti ke pertahanan ekonomi Indonesia yang sudah rapuh. Jadi lengkaplah sudah ekonomi RI terkena pukulan keras tanpa persiapan yang baik.
Hasil akhirnya ekonomi stagnan dan utang yang palah meroket tajam yang dapat dilihat dari data. Imbasnya langsung pada rakyat pajak dinaikan dan subsidi dikurangi. Bahkan gaji PNS hampir tak pernah naik serta ASN diganti pekerja kontrak. Tentu hal ini bukanlah suatu yang pantas dipuji, dan harus diperbaiki oleh semua pihak sesegera mungkin secapat yang bisa dilakukan.