Komisi III DPR RI bersama pemerintah dan Komite I DPD RI menyetujui agar 26 Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Kabupaten/Kota untuk dibahas ke tingkat selanjutnya. Hal ini kemudian bakal disahkan menjadi undang-undang.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa 26 RUU tersebut merupakan klaster kedua. Setelah sebelumnya Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (4/6) telah menyetujui 27 RUU tentang Kabupaten/Kota sebagai klaster pertama, menjadi undang-undang.
Adapun 26 RUU tersebut disetujui untuk dibawa ke pembahasan tingkat II. Setelah masing-masing fraksi, DPD RI, hingga perwakilan dari pemerintah, menyampaikan pandangan akhirnya.
Sebanyak 26 RUU tentang Kabupaten/Kota pada klaster kedua. Ini meliputi kabupaten dan kota yang berada di daerah Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Lampung, Provinsi Jambi, Provinsi Riau, dan Provinsi Sumatera Barat.
Diantaranya, Kabupaten Bintan, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung tengah, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Kerinci, Kabupaten Merangin, Kota Jambi, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Agam.
Kemudian Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kota Bukittingi, Kota Padang Panjang, Kota Padang, Kota Payakumbuh, Kota Sawahlunto, dan Kota Solok.
Pembentukan Regulasi Bersifat Mendesak
Sementara itu, Ketua Panitia Kerja (Panja) 26 RUU Kabupaten/Kota, Syamsurizal mengatakan bahwa pembentukan regulasi tersebut mendesak . Ini karena sebagian besar dasar hukum pendirian kota dan kabupaten itu saat ini masih didasarkan Undang-undang Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang sudah tidak relevan.
Dalam perancangan puluhan undang-undang tersebut, dia memastikan hal yang dibahas adalah hal yang sangat terbatas hanya terkait dengan pembentukan kabupaten dan kota tersebut. Hal tersebut demi menghindari konflik hukum dan administrasi akibat dasar hukum yang tak sinkron.