
Prahara di Partai Demokrat tak kunjung usai, padahal partai Demokrat sedang solid dan melesat bersama Agus Harimurti Yudhoyono “AHY”. Tentu ini memunculkan kecurigaan bahwa prahara yang terjadi bukan murni faktor internal partai semata. Kecurigaan tersebut bertambah ketika KSP Moeldoko ditunjuk sebagai ketua oleh KLB Sumatera. Sebetulnya ini hal kecil bagi Indonesia, namun tampaknya makin lama membawa kearah yang lebih besar.
Kini tampak muncul asumsi liar seperti Partai Demokrat sulit disaingi bawah kepemimpinan AHY, sehingga coba dijatuhkan oleh pihak tertentu. Bukan tanpa alasan karena KLB Demokrat yang jelas tanpa landasan hukum menjadi persoalan besar. Bahkan kini mengancam hukum dan kestabilan hukum dan politik Indonesia dengan adanya uji AD/ART ke Mahkamah Angung “MA”. Padahal jelas dalam Perma Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 dan Hierarki Perundangan, yang bisa dipahami bahkan oleh anak sekolahan itu bukanlah wewenang MA.
Kita berandai jika MA mau menguji maka jelas ini bukan persoalan Hukum Positif semata. Tapi menyangkut hukum yang lain dalam arti luas dan tampaknya ialah mengacu pada teori kekuasaan hukum. Dimana teori ini banyak dipraktikan di Timur Tengah dan terbukti Sulit membawa stabilitas dan kedamaian.
Teori Kekuasaan Dalam Ilmu Hukum
Dalam teori kekuasaan, Negara dibentuk oleh kekuasaan yang artinya paling kuatlah yang mendirikan suatu negara. Kemudian Negaralah yang membentuk hukum itu sendiri, maka bisa dikatakan bahwa hukum dibentuk oleh kekuasaan jika mengacu teori ini. Singkatnya dapat dipahami hukum adalah milik dari pihak yang kuat “berkuasa” dan mirip dengan hukum rimba.
Hal ini sendiri adalah hal umum dan dipelajari dalam pengantar ilmu hukum serta filsafat hukum. Tampak arah hukum Indonesia mengarah ke arah ini bila dilihat dari stament para pejabat seperti “Rakyat Milik Presiden” atau “Presiden Simbol Negara”. Tentu dalam keilmuan sosial teori kekuasaan tidak dapat dibilang salah atau benar, tapi apakah ini tepat untuk Indonesia ?
Karena jika teori kekuasaan yang nanti akhirnya di gunakan di Indoneia, maka negara ini tidaklah lagi membutuhkan pengacara, jaksa ataupun hakim sebagai penegak hukum. Cukup membutuhkan politisi dan milisi yang kuat, untuk saling bersaing mewujudkan hukum versi masing masing layaknya Afghanistan di timur tengah. Serta sejarah akan mencatat pada era siapa semua itu dimulai dan terjadi.