
DPR Serta saat ini tengah membahas Rancangan Undang-Undang ‘RUU” tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Yaakni tentang Tentara Nasional Indonesia “TNI”, pembahasan ini berlangsung di Hotel Fairmont Jakarta pada akhir pekan, 14-15 Maret 2025.
Pembahasan ini menuai kritik tajam karena dianggap tidak transparan dan minim partisipasi publik. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari 20 kelompok masyarakat sipil. Menyatakan bahwa pembahasan RUU TNI berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI.
Salah satu poin kontroversial dalam RUU TNI adalah perubahan pada Pasal 47. Dalam UU No. 34 Tahun 2004, Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
Namun, dalam RUU TNI terbaru, ketentuan ini diubah menjadi prajurit aktif dapat menduduki jabatan di kementerian dan lembaga negara. Termasuk kantor yang membidangi politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara. Bahkan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Dewan Pertahanan Nasional, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (SAR), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung.
Mengutip RUU TNI, Pasal 47 ayat (2) menyebutkan, “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.”
Selain itu, dalam Pasal 53 RUU TNI terbaru, usia pensiun perwira yang sebelumnya 58 tahun diubah menjadi 60 tahun. Bahkan, untuk jabatan fungsional tertentu, usia pensiun bisa diperpanjang hingga 65 tahun. Perwira tinggi bintang empat juga dapat diperpanjang masa dinasnya hingga dua kali dengan keputusan Presiden.
Tanggapan Berbagai Pihak
Menurut Anggota Komisi I DPR Hasanuddin, perluasan penempatan prajurit TNI di luar 10 kementerian. Telah diatur dalam UU TNI sebelumnya kini bertambah menjadi 15 kementerian/lembaga. Salah satu lembaga baru yang diusulkan adalah Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), yang memungkinkan penempatan prajurit TNI aktif di lembaga tersebut.
Amnesty International Indonesia menganggap RUU TNI adalah upaya untuk mengembalikan dwifungsi ABRI yang pernah berlaku di masa Orde Baru. Disebutkan bahwa perubahan dalam RUU TNI tidak hanya memungkinkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan di kementerian dan lembaga negara. Tetapi juga membuka ruang bagi militer untuk terlibat dalam penegakan hukum dan operasi militer selain perang.
Amnesty juga menyoroti peran Jampidmil (Jaksa Agung Muda Pidana Militer) yang diatur dalam RUU TNI. Menurut Amnesty, pembentukan posisi ini hanya akan memperkuat impunitas di kalangan militer karena memungkinkan perwira aktif tetap menjabat dalam struktur hukum sipil tanpa konsekuensi..
Disamping hal itu pelibatan TNI dalam penanganan narkotika juga menjadi sorotan tajam. Karena pelibatan militer dalam isu narkotika dinilai akan membuat pendekatan penanganan masalah ini bergeser. Tepatnya dari ranah penegakan hukum ke ranah operasi militer yang bisa digunakan untuk kepentingan politik. RUU TNI masih dalam tahap pembahasan di DPR dan berpotensi disahkan sebelum masa reses pada 20 Maret 2025 nanti.